Pelawat Blog

Tawassul

Pengertian Tawasul

Tawasul[1] berarti perantara atau penghubung, sebagaimana Allah memiliki Ruhul Amiin, Jibril AS, untuk menyampaikan wahyu kepada Rasulullah SAW. Demikianlah pencapaian makrifat kepada Allah, yakni terungkapnya hijab dengan Allah melalui rantai-rantai wasilah, yakni perantara yang sampai kepada Rasulullah. Demikian karena si hamba dhaif lagi faqir, maka perlulah bertawassul kepada Balatentara Allah yang suci agar hajatnya mudah sampai hadhirat Allah Yang Agung lagi Suci daripada gambaran hamba yang hina.

Perintah Allah Ta'ala dalam Al-Quran:

"Wahai orang-orang yang beriman, taqwalah engkau kepada Allah dan carilah wasilah sebagai jalan yang mendekatkan dirimu kepadaNya dan bermujahadahlah (berjuanglah) pada jalanNya, supaya kamu mendapatkan keberuntungan".[2] (QS. Al-Maidah[5]:35).

DR. Muhammad Al-Maliki Al-Hasani mengatakan bahwa Al-Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah sebagai penyebab untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan penyambung untuk dipenuhNya segala kebutuhan. Untuk itu, demi menjayakan tawasul, yang ditawasuli atau yang menjadi perantara itu mesti mempunyai kedudukan dan kehormatan di sisi Allah SWT sebagai yang dituju dengan tawasul.

Orang yang bertawasul dengan perantara seseorang berkeyakinan bahwa orang tersebut adalah orang saleh atau Wali Allah atau orang yang memiliki keutamaan menurut prasangka baik terhadapnya. Orang-orang tersebut dianggapnya sebagai orang yang dekat kepada Allah dan dicintaiNya. Sebab orang yang menanamkan rasa cinta dan keyakinan yang erat pada kalbunya akan dibalas karenanya. Allah SWT berfirman: "..... Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.." (QS. Al-Maidah[5]:54). Jadi orang yang bertawasul menurut hakikatnya bertawasul kepada Allah.

Seakan-akan orang yang bertawasul kepada seorang Awliya itu berkata, "Wahai Tuhan, sesungguhnya aku mencintai si Fulan. Aku berkeyakinan bahwa ia mencintai-Mu. Ia adalah orang yang suka beribadah secara ikhlas untuk berbakti kepada-Mu. Saya juga berkeyakinan bahwa Engkau mencintainya dan meridhainya. Maka aku bertawasul - membuat perantara - untuk menuju kepada-Mu dengan perantaraan kecintaanku kepadanya dan lewat keyakinanku mengenai dirinya, hendaklah Engkau mengabulkan permohonanku, dan ...." Tetapi kebanyakan orang tidak mampu merinci keyakinan mereka mengenai yang ditawasuli - yang menjadi perantara - dengan keyakinan bahwa Allah SWT Yang Mengetahui - yang mengetahui segala ada di langit dan bumi serta mengetahui kedipan mata dan apa yang tersembunyi di dada - itu lebih jeli dan lebih mengetahui keyakinan orang yang bertawasul terhadap yang ditawasuli.

Inilah juga yang mendasari tawasul dengan rabithah, yang hanya membayangkan wajah seorang Awliya (Mursyid) akan mendekatkan kalbu (dirinya) kepada Allah SWT, dan yang berabithah itu tidak merinci apa-apa yang terbetik dalam dadanya. Hal tersebut amat mujarab dan banyak terbukti, telah dilakukan oleh banyak kalangan Ahli Tasawuf dan Hakikat.

Kata-kata Al-Wasilah (perantara) yang dimuat ayat Al-Quran itu bersifat umum. Dengan demikian, ia mencakup tawasul dengan zat atau pribadi yang mulia dari kalangan para Nabi dan orang-orang saleh, baik ketika mereka masih hidup maupun setelah wafatnya; juga mencakup tawasul kepada Allah dengan perantaraan amal-amal nyata yang baik yang diperintahkan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Bahkan, amal perbuatan yang telah lalu dapat juga dijadikan sebagai wasilah atau perantara dalam bertawasul.

DR. Muhammad Al-Maliki Al-Hasani menjelaskan beberapa makna bertawasul:

1. Tawasul termasuk salah satu cara berdo'a dan salah satu pintu untuk menghadap kepada Allah SWT. Jadi, yang menjadi sasaran atau tujuan asli yang sebenarnya - dalam bertawasul - adalah Allah SWT. Sedangkan yang ditawasuli (al-mutawassal bih) hanya sekedar perantara (wasithah dan wasilah) untuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian, siapa yang berkeyakinan selain demikian, sungguh ia telah menyekutukan Allah.

2. Sesungguhnya yang bertawasul itu tidak bertawasul dengan (menggunakan) perantara (al-mutawassal bih), kecuali karena ia mencintai perantara itu, seraya berkeyakinan bahwa Allah SWT-pun mencintai perantara tersebut. Jika tidak demikian, ia akan termasuk manusia yang paling jauh dari perantara tersebut, bahkan akan menjadi manusia yang paling benci kepadanya.

3. Jika yang bertawasul berkeyakinan bahwa yang ditawasuli atau yang menjadi perantara (al-mutawassal bih) itu berkuasa memberikan manfaat dan menolak mudharat dengan kekuasaannya sendiri - seperti Allah atau lebih rendah sedikit - maka ia telah menyekutukan Allah SWT.

Pada intinya tawasul itu sendiri merupakan wujud birokrasi umat sekarang terhadap umat terdahulu. Karena seandainya tidak ada jasa baik dan ijtihad umat terdahulu, maka tidak akan mungkin ada Iman dan Islam umat di akhir zaman. Inilah bukti komitmen orang yang bertawasul terhadap keberadaan mereka, sebagai realisasi perilaku orang-orang yang bermoral/berakhlak mulia.

Begitulah para ahli Thariqat, bertawasul kepada guru-gurunya hingga kepada Rasulullah SAW, yang menandakan keabsahan birokrasi Ilahiyah. Inilah kemudian yang dapat menjadikan layaknya mandat seseorang dalam memangku sebuah kepemimpinan semacam thariqat Rasul.

(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR'ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia')

[1] Pengertian Tawasul secara perkataan:

"Bertawasul ia kepadanya dengan suatu wasilah, sama dengan mendekatkan diri ia kepadanya dengan suatu amal". (Lisanul ‘Arab, Juz XIV: 250)

[2] Dalam Al-Quran ada 2 tempat yang menyebutkan ‘Wasilah', satu ayat lainnya Surat Al-Isra'[17]: 57): "Mereka mencari perantara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan".

Pembahagian Tawasul

Tawasul itu terbagi menjadi tiga tingkatan nilai. Pertama yang dinilai sebagai Tawasul bis Silsilah, yakni bertawasul dengan jalinan yang bersambungan antara orang yang bertawasul dengan Guru-guru talqin dzikir hingga sampai kepada Rasulullah SAW. Tawasul inilah yang shahih dan utama, yang bersifat menyampaikan, karena mempunyai hubungan yang erat antara orang yang bertawasul dengan yang ditawasuli.

Yang kedua, dinilai sebagai Tawasul bil Barokah[1]. Yakni bertawasul dengan para Nabi, para Awliya dan Sholihin yang tidak mempunyai hubungan silsilah dzikir dengannya, meskipun jalinan yang ditawasuli itu merupakan orang yang amat dikenal kesalehannya seperti: Khalifah yang empat (Abu Bakar Ra., Umar Ra., Utsman Ra., Ali Ra.), para Imam madzhab, para Mursyid, Awliya, Shalihin, dsb. Bertawasul kepada mereka semua hanyalah sebagai penghormatan, dan kita mengharapkan keberkahan dari kesalehannya.

Yang ketiga, dimasukkan dalam kategori Tawasul lil Hadiyah. Yakni bertawasul atau memberikan Fatihah kepada orang-orang yang mempunyai hubungan/hak dengan kita, namun tidak mempunyai hubungan rantai zikir, seperti kedua orang tua, saudara-saudara kita sesama muslim, dsb. Dan kita tidak boleh menggunakan jalinan orang-orang yang masih diragukan kesalehannya, apalagi yang masih mengharapkan ampunan dan syafa'at dari orang-orang yang masih hidup. Secara syari'at kita-lah yang masih hidup yang pantas menolong mereka, bukan mereka yang kita mintakan tolong untuk menyampaikan hajat kita kepada Allah SWT.

Alat perantara zikir itu terdiri menjadi 2 bahagian: (pertama) dengan jalinan/tokoh yang telah mendapat mandat kekhalifahan (istikhlaf), dan diakui kesalehannya (dekat kepada Allah), dan (kedua) dengan amal saleh yang telah dilakukannya. Berkenaan dengan masalah ini Berkata Syaikh Ismail Al-Khalidi Rahimahullah:

"Dan wasilah (jalan) itu dengan segala macam amal salih. Dan tiadalah diperoleh amal salih itu kecuali dengan ikhlas. Dan tidaklah amal yang salih itu kecuali bersih daripada campuran-campuran kekotoran hati. Dan bagi kami telah berhasil dengan berbagai pengalaman-pengalaman bahwa sesungguhnya jika kami menyibukkan dengan Rabithah, maka hilanglah campuran-campuran lalai hati daripada amal-amal kami". Jadi amal yang lalai itu hampa dan dengan wasilah maka hilanglah lalai itu. Sebab hilangnya lalai itu ialah Hudhurnya hati. Dan semulia-mulia & seutama-utama wasilah adalah dengan Rabithah.

Contoh bertawasul dengan amal adalah sebagaimana dituturkan oleh Rasulullah SAW kepada kita mengenai kisah 3 orang yang terhimpit di dalam gua. Hadits itu adalah sebagai berikut:

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA. Berkata: "Saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

‘Terjadi pada masa dahulu sebelum kalian, ada 3 orang berjalan-jalan hingga terpaksa bermalam di dalam gua. Tiba-tiba ketika mereka sedang berada dalam gua itu, jatuh sebuah batu besar dari atas bukit dan menutupi pintu gua itu, hingga mereka tidak dapat keluar. Maka berkatalah mereka: ‘Sungguh tiada suatu yang dapat menyelamatkan kita dari bahaya ini, kecuali jika bertawasul kepada Allah dengan amal-amal shalih yang pernah kamu lakukan dahulu kala'. Maka berkata seorang di antara mereka: ‘Ya Allah! Dahulu saya mempunyai ayah dan ibu, dan saya biasa tidak memberi minuman susu pada seorangpun sebelum keduanya, yakni ayah ibu saya meminumnya terlebih dahulu, baik pada keluarga atau hamba sahaya. Maka pada suatu hari agak kejauhan bagiku menggembala ternak, hingga tidak kembali pada keduanya, kecuali sesudah malam dan ayah bundaku telah tertidur. Maka saya terus memerah susu untuk keduanya, dan saya pun segan untuk membangunkan keduanya, dan saya pun tidak akan memberikan minuman itu kepada siapa pun kecuali ayah bunda saya. Maka saya tunggu keduanya hingga terbit fajar, maka bangunlah keduanya dan minum daripada susu yang saya perahkan itu. Padahal semalam itu juga anak-anakku sedang menangis minta susu itu, di dekat kakiku. Ya Allah! Jika saya berbuat itu benar-benar karena mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah keadaan kami ini'. Maka menyisih sedikit batu itu, hanya saja mereka belum dapat keluar daripadanya. Orang yang kedua berdo'a: ‘Ya Allah! Dahulu saya pernah terikat cinta kasih pada anak gadis pamanku, maka karena sangat cinta kasihku, saya selalu merayu dan ingin berzina padanya, tetapi ia selalu menolak hingga terjadi pada suatu saat ia menderita kelaparan dan datang minta bantuan kepadaku, maka saya berikan padanya wang 120 dinar tetapi dengan janji bahwa ia akan menyerahkan dirinya kepadaku pada malam harinya. Kemudian ketika saya telah berada di antara kedua kakinya, tiba-tiba ia berkata: ‘Takutlah kepada Allah dan jangan engkau pecahkan tutup kecuali dengan cara yang halal. Maka saya segera bangun daripadanya padahal saya masih tetap menginginkannya, dan saya tinggalkan dinar emas yang telah saya berikan kepadanya itu. Ya Allah! Bila saya berbuat itu semata-mata karena mengharap KeredhaanMu, maka hindarkanlah kami dari kemalangan ini. Maka bergeraklah batu itu menyisih sedikit, tetapi mereka belum juga dapat keluar daripadanya'. Yang ketiga berdo'a: ‘Ya Allah! Saya dahulu adalah seorang majikan yang mempunyai banyak buruh pegawai, dan pada suatu hari ketika saya membayar upah buruh-buruh itu, tiba-tiba ada seorang dari mereka yang tidak sabar menunggu, segeralah ia pergi meninggalkan upah dan terus pulang ke rumahnya tidak kembali. Maka saya pergunakan upah itu hingga bertambah dan berbuah hingga menjadi suatu kekayaan. Kemudian setelah lama datanglah buruh itu, berkata: ‘Hai Abdullah! Berilah kepadaku upahku yang dahulu itu!' Jawabku: ‘Semua kekayaan yang di depanmu itu merupakan upahmu, berupa unta, lembu, dan kambing serta budak penggembalanya'. Berkata orang itu: ‘Hai Abdullah! Kau jangan mengejekku!' Jawabku: ‘Aku tidak mengejekmu'. Maka diambilnya semua yang saya sebut itu dan tiada meninggalkan satupun daripadanya. Ya Allah! Jika saya berbuat itu karena mengharapkan KeridhaanMu, maka hindarkanlah kami dari kesempitan ini'. Tiba-tiba menyisihlah batu itu hingga keluar mereka semua dengan selamat'.[2]

Sedangkan contoh bertawasul dengan jalinan adalah sebagaimana diriwayatkan Imam Thabrani dalam Mu'jamus Shagir, Al-Hakim Naisaburi dalam Mustadrak ash Shihhah, Abu Nu'aim dan Baihaqi dalam Dalail An-Nubuwwah, Ibnu ‘Asakir Syami dalam Tarikh-nya, dan Imam Hafizh As-Suyuthi dalam Ad-Durrul Mantsur serta dalam Ruhul Ma'ani dengan sanad dari S. Umar bin Khatthab, menukil bahwa Nabi SAW bersabda:

"Ketika Nabiyyallah Adam melakukan dosa, ia menengadahkan kepalanya ke langit dan berkata: ‘Wahai Tuhan, aku memohon kepadaMu dengan Haq Muhammad agar Engkau mengampuniku'. Lalu Allah mewahyukan kepadanya: ‘Siapakah Muhammad?' Nabiyyallah Adam menjawab: ‘Ketika Engkau menciptakanku, aku mengangkat kepala ke arah ‘ArasyMu, dan lalu aku melihat, di sana tertulis: Laa Ilaaha Illallaaah Muhammadur Rosulullaah. Akupun berkata kepada diriku, bahwa tiada seorangpun yang lebih agung daripada orang yang namanya telah Engkau tuliskan di samping NamaMu'. Ketika itu Allah mewahyukan kepadanya: ‘Dialah Nabi yang terakhir daripada keturunanmu, dan jika tidak karena dia, niscaya Aku tak akan menciptakanmu'.

Dalam suatu hadits yang ditakhrijkan Ibnu Majah dan An-Nisa‘i dalam Sunan-nya, demikian pula At-Tirmidzi (beliau memberikan nilai shahih atasnya), disebutkan:

"Bahwa seorang buta pernah datang kepada Nabi SAW seraya berkata: ‘Yaa Rasulullah, sesungguhnya aku mendapat musibah pada mataku, maka berdo'alah engkau untukku kepada Allah'. Maka sabda Nabi SAW kepadanya: ‘Berwudhulah engkau dan shalatlah 2 raka'at, lalu katakan demikian: Yaa Allah, sesungguhnya aku bermohon dan menghadap kepada Engkau, dengan Nabi-Mu Muhammad. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menuntut syafa'at engkau dalam pengembalian penglihatanku ini. Yaa Allah, perkenankanlah syafa'at Nabi ini kepadaku. Dan sabdanya: ‘Maka jika ada bagimu sesuatu keperluan, katakanlah seperti itu!' "

Demikianlah pembagian tawasul yang penting untuk kita pahami dengan sebenarnya. Selanjutnya cara bertawasul yang benar, harus diisi dengan hajat/keperluan yang benar pula. Sebab di masa sekarang ini, banyak orang yang menyalahgunakan tawasul untuk keperluan yang jauh dari Ridha Allah SWT, tidak sebagaimana para pendahulu kita yang menggunakan tawasul semata-mata untuk ibadah, atau mendekatkan diri (ber-taqarub) kepada Allah semata. Di antaranya adalah untuk mendapatkan ilmu-ilmu tertentu seperti kebal, dll., dijadikan nadzar untuk maksud-maksud duniawi, dsb. Kenyataan inilah yang membuktikan pentingnya pembimbing dzikir/tawasul bagi orang yang sedang menekuni jalan ini agar tetap lurus tawasul-nya awal maupun akhir.

Wallahu A'lam.

?

Bismillah
Allah humma sallialaihi wasallim,

Allah hu akhbar
Rasa
Rasa itu dari Dia kepada Dia
Untuk Dia sebab Dia
Aku akur

tetapi masih tidak boleh mengalah
Jika boleh mahu saja biarkan rasa itu tiada
tetapi di luth mahfuz dah di tinta
mana mungkin mahu dinafi dan dizahirkn kini

Ada kalanya rasa itu ku rasa tidak patut hadir
tetapi siapa aku mahu menidak
kalanya pula rasa indah
siapa pula aku ingin menolak

Aku yang lemah kini senang mencuba
menyemai sedikit rasa benci
untuk dpt aku baiki
jd jika ini gagal
aku faham ia memang tidak boleh diubah

dan mungkin ada sebab
jika jawapannya bukan sekarang
mungkin nanti...dan nanti..tiada yg ketahui

Jgn aneh aku harap
sbab aku sedang cuba menjadi apa yang kau harapkan.

moga aku berjaya dengan jaya.

Sent from Side to side

Behind The Line

Ada kala di rasanyakan sebagai penyebok
kerana mengekalkan sifat diperlukan
ketika dia dalam kesempitan dan kesusahan pada ketika dia gembira senang dalam helai tawa.


Sent from Side to Side

Keluargaku

Alhamdulillah selepas 5 tahun beraya berdua kini beraya bertiga Alhamdulillah


Sent from Side To Side

SELAMAT HARI RAYA AIDILFITRI

Ini lah sahabat yang ada sekarang
sahabat yang lebih dr sahabat
moga kekal hingga hujung nyawa
dan disambung generasi seterusnya


Sent from Side To Side

Beriman Kepada Allah s.w.t ( 1 )

Mengenal Allah Dan MengEsakanNya



Firman Allah Taala, ertinya: Demi sesungguhnya Tuhan kamu hanya satu." (4, Surah as-Saaffaat).
Sifat-sifat Ketuhanan: 
" .. dan tidak ada yang bersifat ketuhanan(1) melainkan Allah,  Yang Maha Esa, lagi Yang mengatasi kekuasaan-Nya segala-galanya." (65, Surah Sad).
Ilmu Dan Martabat-martabatnya:
"Maka hendaklah engkau berusaha mendapat ilmu(2) yang meyakinkanmu: "Bahawa tidak ada yang bersifat ketuhanan melainkan Allah (19, Surah Muhammad).
" .. (kerana) sesungguhnya sangkaan (zan) tak dapat memenuhi kehendak menentukan sesuatu dari kebenaran (i'tiqad) (36, Surah Yunus).
____________________________
(1) Yang bersifat ketuhanan ialah yang terhimpun padanya dua sifat yang menjadi sebagai ibu bagi segala sifat kesempurnaan Tuhan iaitu:
Pertama - terkayanya daripada segala yang lain. tidak berhajat kepada sesuatu apapun dan
Kedua - menjadi tumpuan bagi sekalian makhluk.  Yakni ia sentiasa dituju dan dihajati oleh tiap-tiap yang lain untuk memohon - sama ada dengan tutur kata atau dengan keadaan semula jadi ataupun dengan persediaan yang azali - akan segala keperluan dan kesempurnaan masing-masing
(2) Sayugia diketahui bahawa:
(a) Pendapat yang terbukti kepastian tepatnya dengan hakikat yang sebenar dinamakan ilmu.
(b) Pendapat yang buktinya memberikan kuat anggapan tepatnya dengan hakikat yang sebenar dinamakan: Zan.
(c) Pendapat yang buktinya memberikan hanya sangkaan yang lemah tentang tepatnya dengan hakikat yang sebenar dinamakan: Waham.
(d) Pendapat yang buktinya tidak memberi ketetapan adakah tepat atau tidaknya. dinamakan: Syak.
(e) Pendapat yang terbukti tidak tepatnya dengan hakikat yang sebenar dinamakan: "Jahl" (kejahilan) dan orang yang berpendapat demikian dinamakan "jahil" atau orang yang tidak berpengetahuan. 
Pendapat yang pertama: Dituntut untuk akidah kepercayaan dan juga untuk hukum-hakam sedapat-dapatnya; dan pendapat yang kedua sah dipakai hanya bagi menentukan hukum hakam, tidak untuk akidah kepercayaan. 
Ada pun pendapat yang ketiga; tidak harus dipakai untuk apa-apa pun, lebih-lebih lagi yang keempat.
1- عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ.
1- Dari Abu Ma'bad dari Ibn Abbas r.a., katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda kepada Mu'az bin Jabal ketika Baginda s.a.w mengutusnya ke negeri Yaman ".. Sebenarnya engkau akan sampai kepada suatu kaum:  Ahli kitab, kemudian apabila engkau menemui mereka, maka serukanlah supaya mereka meyakini bahawa sesungguhnya tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah dan bahawa sesungguhnya Nabi Muhammad ialah pesuruh Allah ."
وَفِي رِوَايَةٍ ( فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى )
Menurut satu riwayat yang lain (Baginda s.a.w. bersabda): ..."Maka hendaklah dakwah yang mula-mula engkau kemukakan kepada mereka ialah supaya mereka mengakui keEsaan Allah Taala..."
وَفِي رِوَايَةٍ ( فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ )
Dan pada satu riwayat pula, (Baginda s.a.w. bersabda) "...Maka hendaklah perkara yang mula-mula sekali engkau mengajak mereka kepadanya ialah (tunjang atau asas) ibadat kepada Allah. .."
(البخاري ومسلم)
(Bukhari dan Muslim)
Hadis yang pertama ini mengandungi tentang:
(1) Islam berkembang dengan jalan dakwah.
(2) Pemilihan Baginda s.a.w. tentang orang-orang yang ditugaskan berdakwah.
(3) Dakwah Islamiah wajib disampaikan kepada umat manusia termasuk kaum Yahudi dan Nasrani. 
(4) Asas agama ialah Ma'rifat Allah.
Huraiannya:
(1) Islam berkembang dengan jalan dakwah. 
Islam - sebagaimana yang sedia maklum - adalah agama yang berasaskan i'tiqad atau kepercayaan mengenal perkara-perkara yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang wajib dipegang teguh oleh setiap penganutnya.
Untuk meresapkan sesuatu kepercayaan ke dalam hati, tak dapat tidak berkehendakkan kebijaksanaan dan cara yang sebaik-baiknya dalam masa menjalankan dakwah dengan memberi penerangan yang jelas dan berkesan, sesuai dengan keadaan zaman dan keadaan orang-orang yang ditujukan dakwah Islamiah itu kepadanya.
Aqidah kepercayaan tidak akan dapat dimasukkan ke dalam jiwa seseorang dengan jalan kekerasan atau paksaan dan Islam tidak dikira sah jika seseorang itu pura-pura Islam pada zahirnya sedang hatinya kosong dari aqidah kepercayaan yang diakui dan diyakininya.
Dengan itu nyatalah tidak benarnya orang-orang yang mengatakan bahawa Nabi Muhammad s.a.w.  telah menyebarkan Islam dengan pedang kerana kuasa pedang tidak dapat memasukkan kepercayaan ke dalam hati seseorang. Peperangan Jihad yang pernah dilancarkan oleh Baginda s.a.w. adalah untuk membela Islam dan umat Islam dari pencerobohan musuh.
(2) Pemilihan Baginda s.a.w. tentang orang-orang yang ditugaskan berdakwah.
Dakwah adalah satu tugas yang penting dalam Islam kerana kepadanyalah bergantung maju mundurnya perkembangan Islam.  Oleh itu maka pihak yang berkuasa bertanggungjawab melantik orang-orang yang layak menjayakannya.
Rasulullah s.a.w. telah melantik orang-orang yang menjalankan tugas ini dari kalangan guru-guru agama,  pegawai-pegawai daerah dan lain-lainnya. Di antaranya ialah Mu'az bin Jabal yang tersebut perihalnya dalam hadis ini.
Mu'az diutuskan oleh Baginda s.a.w. ke negeri Yaman pada tahun yang kesepuluh hijrah - sebelum daripada Baginda berangkat ke Mekah untuk menunaikan "Haji Wadaa".
Mu'az dipilih oleh Baginda s.a.w. menjalankan tugas dakwah Islamiah di negeri Yaman bukan sahaja kerana kelayakannya sebagai seorang ahli agama yang pengetahuannya mendalam tentang Islam tetapi juga kerana ia berasal dari Yaman yang mengetahui selok belok negeri itu dan tabiat serta adat resam penduduknya.
Mu'az ditugaskan menjalankan dakwah kepada sekalian penduduk daerah Yaman yang masih belum Islam dan oleh kerana di antaranya golongan ahli kitab (kaum Yahudi) yang pada umumnya berilmu pengetahuan,  maka Baginda s.a.w. mengingatkan Mu'az supaya ia bersedia menghadapi mereka dengan cara yang lain dari cara menghadapi orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan. 
(3) Dakwah Islamlah wajib disampaikan kepada umat manusia termasuk kaum Yahudi dan Nasrani.
Nabi Muhammad s.a.w.  diutus oleh Allah Taala kepada umat manusia seluruhnya. Tiap-tiap seorang yang hidup dalam zaman Baginda s.a.w. atau yang datang kemudian, sama ada ia Yahudi,  atau Nasrani,  atau penyembah berhala atau lain-lainnya, wajib beriman kepada Baginda s.a.w. dan menerima agama Islam yang dibawanya.
Tiap-tiap seseorang tidak sah imannya kepada Allah Taala selagi ia tidak beriman kepada sekalian Rasul-Nya - mulai dari Nabi Adam hinggalah kepada Nabi Muhammad s.a.w.
Kaum Yahudi dan Nasrani yang dipanggil dengan nama "Ahli Kitab" (pengikut kitab-kitab Taurat dan Injil), bukan sahaja telah mengubah dan merosakkan ajaran kitab-kitab mereka tetapi telah menyeleweng dari i'tiqad Tauhid yang sebenar.
Mereka mendakwa bahawa mereka beribadat kepada. Allah Taala, tetapi "Allah" menurut fahaman mereka yang telah rosak itu hanyalah nama sahaja bukanlah Allah yang bersifat dengan sifat-sifat yang diterangkan oleh Allah sendiri di dalam al-Qur'an dan diterangkan oleh rasul-Nya. Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan itu.
(4) Asas agama ialah Ma'rifat Allah.
Islam ialah agama ciptaan Allah yang diturunkan melalui Rasul-rasulnya yang diakhiri dengan Nabi Muhammad s.a.w. untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia di dunia dan di akhirat.
Dalam agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w terkandung hukum-hukum dan amalan-amalan meliputi segala bidang hidup, dari perkara yang sebesar-besarnya hingga kepada yang sekecil-kecilnya dan semuanya itu bergantung kepada satu asas yang penting - "Marifat Allah", iaitu mengenal Allah Subhanahuwataala dan mengakui keEsaanNya.
Hakikat ini telah disimpulkan oleh ulama Tauhid dalam kalimah "Awalud Din Ma'rifat Allah" (asas agama ialah mengenal Allah), iaitu intisari dari maksud hadis yang kami sebutkan dalam bab ini.
Jelasnya, sebagaimana sesebuah bangunan bergantung kepada asasnya tentang teguh kukuh atau tidaknya, maka demikianlah pula halnya "Ma'rifat Allah" itu, tiap-tiap seorang wajib memahaminya supaya meresap dan sebati dalam jiwanya sehingga menjadi satu keyakinan yang dapat mempengaruhi seluruh perasaan dan gerak langkahnya untuk memikul tanggungjawab menjalankan hukum-hukum Islam dan amalannya.
Sekiranya asas Ma'rifat ini tidak kukuh dan hanya dalam peringkat sangkaan semata-mata, maka inilah sebabnya seseorang itu tidak merasa bertanggungjawab dalam menjalankan hukum-hukum dan amalan yang tersebut dengan sepenuhnya.
Ma'rifat Allah wajib pada syarak dan juga wajib pada akal.
Tiap-tiap seorang manusia apakala ia lahir ke alam wujud ini, ia akan dapat menerima berbagai-bagai nikmat yang tidak terhitung.
Di antaranya ialah tubuh badannya dilengkapkan dengan nikmat-nikmat yang tidak ternilai seperti mata,  telinga dan lain-lainnya yang tidak dapat diberi oleh sesiapa pun dari kalangan manusia sendiri atau makhluk-makhluk yang lain
Maka tidaklah patut bagi orang yang menerima nikmat itu kalau ia tidak mahu mengenal siapakah pemberinya dan tidak mahu bersyukur akan pemberian yang sangat-sangat berharga itu.
Sikap yang demikian, tak dapat disangkal lagi tentang tidak patutnya kalau difikirkan oleh orang-orang yang berakal siuman yang menggunakan akalnya dengan jujur.  Lebih-lebih lagi tidak patut kalau orang itu menggunakan nikmat pada bukan tempatnya dan ia pula menentang serta menderhaka kepada yang melimpahkan nikmat itu kepadanya. Kerana sikap yang demikian menggambarkan ketiadaan peri kemanusiaan. 
Allah Taala Yang Maha Pemurah,  lagi Amat Mengasihani, yang melimpahkan nikmat-nikmat-Nya yang tidak terhitung kepada sekalian makhluk,  telah mengingatkan manusia supaya mengenal-Nya dan mengakui keEsaanNya, dengan firmanNya : فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُyang maksudnya memerintahkan manusia supaya masing-masing berusaha mencari jalan mengenal-Nya dengan sepenuh-penuh yakin, kerana Dialah Pencipta manusia dan alam seluruhnya, dan Dialah juga yang mengurniakan segala nikmat yang mereka gunakan dalam alam kehidupan ini.
Dengan ini jelaslah bahawa "Ma'rifat Allah" (mengenal Allah) itu hukumnya wajib pada syarak sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Taala dan juga diakui wajibnya oleh akal yang siuman. 
Sesiapa yang tidak mahu mengambil berat mengenal Allah,  sedang ia sentiasa menggunakan nikmat-nikmat pemberian-Nya maka sikapnya yang demikian adalah bertentangan dengan "Fitrah insaniah" (keaslian perikemanusiaannya) dan melanggar perintah Allah Taala serta mencuaikan kegunaan akalnya sendiri.
Jalan yang menyampaikan kepada ma'rifat.
Cara mengenal sesuatu sudah tentu dengan jalan mengenal sifat-sifatNya. Maka demikianlah pula cara mengenal Allah Taala, yang wajib al Wujud, tak dapat tidak dengan jalan mengenal sifat-sifat-Nya. Tetapi sifat-sifat Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa itu tidak dapat dicapai dengan pancaindera,  hanya dapat diyakini dari kesan sifat-sifatnya yang ternyata pada kejadian-kejadian alam yang diciptakan-Nya.
Meskipun manusia dilengkapkan dengan akal untuk memikir dan menimbang apa yang diperhati dan ditelitinya dari kejadian-kejadian alam yang tercipta dengan indah dan teratur,  bahkan manusia disuruh berbuat demikian untuk kebaikan dan keselamatan dirinya di dunia dan di akhirat, tetapi akal manusia itu adalah terbatas setakat perkara-perkara dan benda-benda yang ada dalam alam nyata yang dapat dicapai oleh pancaindera dan alat-alatnya sahaja. Maka dengan keadaannya yang demikian, sudah tentu ia tidak dapat memikirkan sama sekali tentang zat Allah Taala yang bukannya dari jenis-jenis benda dan tidak ada sesuatu pun yang menyamaiNya.
Oleh sebab itulah junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. yang diutus oleh Allah Taala untuk memimpin umat manusia ke jalan yang benar,  telah menerangkan tentang cara menggunakan fikiran untuk "mengenal Allah" dalam beberapa hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang sahabat Baginda s.a.w. iaitu Ibn Abbas, Abu Zar dan Ibn Umar r.a.
2- عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ "تَفَكَّرُوا فِي كُلِّ شَيْءٍ وَلَا تَفَكَّرُوا فِي ذَاتِ اللَّهِ …". ( أبو الشيخ )
2- Dari Ibn Abbas r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Fikirkanlah mengenai segala apa jua (yang diciptakan Allah), tetapi janganlah kamu memikirkan tentang zat Allah. ..."
(Abu al-Sheikh)
3- عَنْ أَبِي ذَرٍّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ: "تَفَكَّرُوا فِي خَلْقِ اللَّهِ وَلَا تَفَكَّرُوا فِي اللَّهِ فَتَهْلِكُوا". ( أبو الشيخ )
3- Dari Abu Zar, r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Fikirkanlah mengenai segala makhluk Allah dan janganlah kamu memikirkan tentang zat Allah,  kerana yang demikian menyebabkan kamu binasa (dalam kesesatan)."
(Abu al-Sheikh)
4- عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ "تَفَكَّرُوا فِي آلَاءِ اللَّهِ ، وَلَا تَفَكَّرُوا فِي اللَّهِ". ( أبو الشيخ والطبراني )
4- Dari Ibn Umar r.a., dari Nabi s.a.w. sabdanya: "Fikirkanlah mengenai segala nikmat Allah dan pemberian-Nya dan janganlah kamu memikirkan tentang zat Allah. "
(Abu al-Sheikh dan al-Tabarani)
Hadis-hadis itu meskipun berlainan sedikit di antara satu dengan yang lain tentang lafaznya, tetapi sama sahaja maksudnya, iaitu menyuruh tiap-tiap orang memikirkan segala kejadian dalam alam yang telah diciptakan oleh Allah Taala dan pelbagai jenis nikmat yang telah dikurniakan-Nya. Serentak dengan itu Baginda s.a.w. melarang keras daripada memikirkan tentang "Zat Allah" kerana yang demikian bukan sahaja tidak dapat dicapai oleh akal fikiran bahkan akan menjerumuskan orang yang melakukannya dalam kesesatan.  Demikian maksud hadis-hadis itu.
Soal ini jelas sekali kerana Zat Allah Taala adalah Zat Yang Maha Tinggi,  tidak dapat diketahui hakikatnya oleh akal yang memang terbatas kemampuannya. Oleh itu, hal ini tidak menjadi masalah dan tidak patut dijadikan satu perkara yang dimusykilkan.
Kerana soal kita tidak mengetahui hakikat sesuatu, tidak menjadi hal,  asalkan kita dapat mengetahui sifat-sifatnya dan faedah-faedah yang didapati daripadanya sesuai dengan keperluan kita.
Misalnya: Tenaga elektrik dan besi berani yang kita sentiasa menggunakannya dan mengambil faedah daripadanya, tidak diketahui hakikatnya dan ahli sains sendiri tidak juga mengetahuinya dan tidak pernah mereka menjelaskan hakikatnya kepada kita.
Maka bagaimana seseorang hendak mengetahui hakikat Zat Allah Yang Maha Tinggi yang tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya? Sedang banyak di antara benda-benda yang diciptakan-Nya - yang ada di sekeliling kita - tidak juga diketahui hakikatnya oleh akal kita.
Sekiranya seseorang itu cuba juga memikirkan tentang hakikat Zat Allah yang tidak ada tara-Nya itu, sudah tentu fikirannya memberi satu gambaran yang tidak benar dan tidak tepat dengan hakikat-Nya yang sebenar dan ini adalah buruk padahnya - sebagaimana yang diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. dalam hadis-hadis yang tersebut - kerana orang itu telah menggunakan akalnya pada bukan tempatnya.
Dalam pada itu, akal dapat memberi keyakinan tentang wujudnya Allah Taala dan tentang sebahagian dari sifat-sifat kesempurnaan-Nya, apabila dibuktikan oleh dalil-dalil akal yang jelas nyata; manakala sebahagian lagi dari sifat-sifat kesempurnaan-Nya dapat diterima dari al-Qur'an atau hadis yang
"Mutawatir"
Dalil akal yang membuktikan wujudnya Allah Taala.
Di antara dalil-dalil akal yang membuktikan wujud-Nya Allah Taala dan ketinggian martabat wujud-Nya ialah: bahawa segala yang ada ini - selain dari Allah - adalah wujudnya baharu: dari tiada kepada ada. Hal ini diakui kebenarannya oleh akal dan juga oleh kenyataan-kenyataan yang lahir.
Jelasnya tiap-tiap apa jua yang sah pada akal wujudnya, terbahagi kepada dua martabat: 
Pertama sesuatu yang wujudnya "Wajib ada" (wajib al wujud), yakni wujudnya itu memang hakikat zatnya, bukan disebabkan oleh yang lain.
Kedua - sesuatu yang wujudnya "Mungkin ada" (Mumkinal wujud), yakni yang wujudnya berpunca dari yang lain, sedang hakikatnya mungkin ada dan mungkin tiada.
Apabila telah sabit, bahawa wujud martabat yang kedua ini baharu: Dari tiada kepada ada, dan wujudnya itu disebabkan oleh yang lain, maka sudah tentu ada penciptanya yang maha tinggi martabat wujudnya, iaitu zat yang wajib al wujud; dan sudah tentu pula bahawa tiap-tiap yang baharu wujudnya sentiasa berhajat kepada pemberi wujudnya itu dalam setiap saat, kerana sifat berhajatnya itu adalah suatu sifat yang tak dapat dipisahkan dari hakikatnya.
Tegasnya sebagaimana tiap-tiap yang baharu itu berhajat kepada pemberi wujudnya dari tiada kepada ada, ia juga berhajat kepada pemberi wujudnya itu untuk mendapat bantuan bagi meneruskan wujudnya.
Dengan itu nyatalah bahawa hakikat sesuatu yang mungkin wujudnya tak dapat sama sekali - dengan hakikatnya itu - memberi atau menerbitkan sebarang kesan pun dan juga tak dapat menerima wujudnya dari sesuatu yang sama dengannya tentang keadaan mungkin wujudnya.
Dengan demikian, sudah tentu punca bagi menerbitkan sebarang kesan dan mengadakan segala yang ada hanyalah Zat Allah s.w.t. yang wajib al-wujud.
Apabila kita memahami akan hakikat wajib al-wujud maka sudah tentu kita dapat meyakini bahawa wujudnya itu adalah wujud hakiki, tidak berpermulaan dan tidak berkesudahan serta tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya.
Dalil akal yang membuktikan sifat-sifat kesempurnaan Allah Taala.
Di antara dalil-dalil akal yang membuktikan sebahagian dari sifat-sifat kesempurnaan Allah Taala ialah apabila kita melihat sebuah lukisan yang menarik perhatian,  sudah tentu kita faham dan percaya bahawa lukisan itu ada pelukisnya, serta kita yakini bahawa pelukisnya itu mempunyai ilmu pengetahuan tentang peraturan dan kaedah-kaedah melukis,  mempunyai kemahuan untuk menentukan gambaran-gambaran, gaya,  bentuk dan kadar besar kecilnya lukisan itu dan mempunyai daya dan kuasa membuat lukisan dan mewarnakannya mengikut corak yang dikehendaki.
Untuk menguatkan lagi kepercayaan dan keyakinan itu cubalah kita perhatikan tubuh badan kita sendiri.
Tiap-tiap kita tersusun dari berbagai-bagai anggota dan alat perkakas untuk mengisar, menapis, membuang dan lain-lain lagi.
Masing-masing ada peraturan yang tertentu dalam menjalankan dan menyempurnakan tugasnya dan masing-masing pula patuh kepada peraturan yang ditentukan baginya. Jika tidak maka tugasnya tidak akan berhasil atau tidak akan sempurna.
Dengan segala perhatian yang demikian maka akal kita yang sihat dan siuman dapat membuat kesimpulan dengan sepenuh-penuh percaya dan yakin bahawa:
(1) Alam seluruhnya tetap ada yang menciptakannya dan mentadbirnya.
(2) Yang mencipta dan mentadbirkan alam ini ialah Zat yang wajib al-wujud yang bersifat dengan:
(a) Sifat hidup selama-lamanya
(b) Sifat mengetahui segala-galanya dengan setepat-tepatnya dan seluas-luasnya.
(c) Sifat iradat yang menentukan dan menetapkan segala-galanya dengan sebijak-bijak dan sebebas-bebas; dan
(d) Sifat kekuasaan mengadakan dan meniadakan segala-galanya menurut cara yang tertentu dan kaedah yang rapi
Dalil akal yang membuktikan KeEsaan Allah Taala.
Di antara dalil-dalil akal yang membuktikan keEsaan Allah Taala ialah: bahawa apa-apa jua pekerjaan akan rosak jika ditadbirkan oleh dua ketua yang masing-masing mahukan pangkat ketua itu menjadi haknya sahaja kerana dengan demikian akan timbullah perselisihan dan gejala-gejala hendak mengatasi satu sama lain.
Kalau ini boleh berlaku ketika berbilang-bilang ketua maka apa pula yang akan berlaku kalau berbilang-bilang tuhan sedang sifat ketuhanan ialah kebesaran dan keagungan yang cukup sempurna
Oleh itu kalaulah Tuhan berbilang dan salah satunya berkuasa penuh mentadbir dan mengurus sudah tentu akan luput dan lumpuhlah sifat-sifat Tuhan yang lain. Kalau perlu tuhan-tuhan itu bersekutu sudah tentu akan luput dan lumpuhlah sebahagian dari sifat-sifat ketuhanan masing-masing, padahal luput dan lumpuhnya sifat-sifat ketuhanan adalah bertentangan dengan kesempurnaan kebesaran dan keagungan.
Dengan ini nyatalah bahawa sudah semestinya Tuhan itu Esa, tiada sekutu bagi-Nya.
Tambahan pula kalau seseorang dengan jujurnya memerhatikan wujudnya perpaduan dan susunan kejadian alam ini, nescaya ternyata kepadanya perpaduan yang menyatukan tiap-tiap satu dengan yang lain dalam keadaan yang serapi-rapinya sehingga gerak-geri tiap-tiap satu kejadian itu menyempurnakan yang lain dengan tidak berlawanan atau bertentangan;  demikian juga kalau ia memerhati nampaklah kepadanya keseimbangan dan kesatuan dalam perhubungan antara sesuatu kejadian dengan yang lain, sekalipun bentuk dan keadaannya berlainan.
Semuanya itu adalah di antara bukti-bukti yang menunjukkan bahawa seluruh alam ini adalah merupakan satu kesatuan yang terikat rapi yang tidak akan lahir melainkan dari satu punca yang tunggal, iaitu yang wajib al-wujud, yang telah mencipta dan mengaturnya dalam keadaannnya yang demikian.
Selain dari itu, segala yang terkandung di dalam alam ini dari bahan-bahan, kekuatan,  tenaga dan gerak adalah satu tentang tabiat yang ditetapkan oleh Maha Pencipta pada masing-masing , juga satu pada peraturannya, undang-undangnya, halanya dan matlamatnya.
Maka ini juga di antara bukti-bukti yang menunjukkan keEsaan penciptanya.
Dalil al-Quran yang menjelaskan sifat-sifat kesempurnaan dan keEsaan Allah Taala.
Menurut keterangan al-Quran pula, maka di antara ayat-ayat suci yang menjelaskan sebahagian dari sifat-sifat kesempurnaan Tuhan ialah firman Allah Taala, maksudnya:
"Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang tetap Hidup, Yang Kekal selama-lamanya mentadbirkan (sekalian makhluk-Nya) Yang tidak mengantuk usah tidur. Yang memiliki segala yang ada di langit dan yang ada di bumi. Tiada sesiapa yang dapat memberi syafaat (pertolongan) di sisi-Nya melainkan dengan izin-Nya. Yang mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang mereka tidak mengetahui sesuatu pun dari (kandungan) ilmu Allah melainkan apa yang Allah kehendaki (memberitahu kepadanya). Luasnya Kursi Allah (ilmu-Nya dan kekuasaan-Nya) meliputi langit dan bumi; dan tiadalah menjadi keberatan kepada Allah menjaga serta memelihara keduanya (alam langit dan bumi); dan Dialah Yang Maha Tinggi,  lagi Maha Besar (kekuasaan-Nya)." (255 Surah al-Baqarah).
Ayat suci ini menjelaskan bahawa Allah Taala bersifat dengan sifat-sifat kesempurnaan:
(1) Dialah sahaja Tuhan yang sebenar-benarnya yang berhak disembah dan dipatuhi.
(2) Dialah sahaja yang hidup secara mutlak - terlepas dari pengertian hidup yang difahami oleh manusia. 
(3) Dialah sahaja yang kekal selama-lamanya mentadbirkan sekalian makhluk-Nya serta memberikannya segala yang diperlukan untuk kepentingan hidup masing-masing.
(4) Maha Suci ia daripada letih lesu atau lalai atau mengantuk ataupun tidur.
(5) Menguasai segala yang ada di langit dan di bumi dengan penguasaan mutlak yang meliputi.
(6) Bebas melakukan segala yang dikehendaki-Nya. Tidak ada sesiapa pun yang boleh mempersoalkan hukum-Nya, atau yang dapat menolak keputusan-Nya, atau yang berani mengubah apa yang telah ditentukan dan dikehendaki-Nya, sama ada dengan meminta syafaat pertolongan atau mengemukakan rayuan - kecuali setelah ia diizinkan, maka pada ketika itu ia tunduk mematuhi dan memohon syafaat dalam lingkungan yang dibenarkan, sesuai dengan keadaannya.
(7) Maha mengetahui akan keadaan sekalian makhlukNya, meliputi segala apa jua yang sedang mereka hadapi atau yang tidak kelihatan kepada mereka dari segala yang sedang berlaku atau yang akan berlaku. Sebaliknya, mereka sendiri tidak mengetahui sesuatu pun dari apa yang diketahui oleh Allah Taala - kecuali apa yang Allah kehendaki mereka mengetahuinya.
(8) Dialah sahaja pemerintah agung; kebesaran-Nya dan ilmu-Nya meliputi langit dan bumi.
(9) Dialah sahaja yang mempunyai sepenuh-penuh kekuasaan.  Tiadalah menjadi keberatan atau kesukaran kepada-Nya menjaga dan memelihara alam langit dan bumi dan segala yang ada pada kedua-dua alam itu.
(10) Dialah jua Yang Maha Tinggi kebesaran dan kemuliaan-Nya, tidak ada yang mengatasi-Nya; dan dialah jua yang Maha Besar kekuasaan-Nya, yang tidak ada bandingan-Nya.
Ayat suci ini, sebagaimana ia menerangkan sifat-sifat Tuhan Maha Pencipta,  ia juga memandu manusia supaya janganlah menujukan amal ibadatnya melainkan kepada Allah,  dan janganlah ia bertanggungjawab mematuhi melainkan apa yang diperintahkan oleh Allah Taala mengerjakannya dari segala amal kebajikan. Demikian juga hendaklah manusia - hati kecilnya dan keseluruhan hidupnya terikat kukuh dengan Allah Taala yang mentadbirkan urusan hidupnya dan urusan segala apa jua yang ada di sekelilingnya; dan hendaklah Ia sentiasa memohon kepada Allah apa jua yang mendatangkan kebaikan kepadanya dan menyebabkan dia mencapai kebahagiaan - di dunia dan di akhirat.
Dan bahawa manusia tidak mempunyai hak milik yang asal dalam sesuatu jua pun, tetapi dapat disabitkan baginya hak milik yang terbit dari pemberian Allah pemilik yang asal,  yang menjadikan seseorang itu menguasainya sebagai wakil.  Dengan yang demikian, wajiblah atas orang itu mematuhi dengan sepenuhnya syarat-syarat pemilik yang asal - Allah Taala- yang menjadikannya wakil menguasai pemberian itu. Jika tidak, maka akan menjadilah apa yang dilakukannya mengenai urusan hak milik yang diberikan itu tidak sah dan ia akan menerima balasan yang sepadan dengan kesalahannya. Demikian juga hendaklah ia tetap memperhambakan diri kepada Allah Taala dengan mengerjakan apa yang disuruh dan meninggalkan apa yang ditegah, dan janganlah ia mencuaikan semuanya itu dengan hanya menumpukan harapannya untuk mendapat syafaat pertolongan,  sedang syafaat itu tidak akan diperolehi melainkan setelah diizinkan oleh Allah Taala bagi sesiapa yang dikehendaki-Nya dan diredhai.
Tiap-tiap seorang juga hendaklah sentiasa waspada dan tetap sedar sehingga ia tidak lalai daripada mengira dan mengawasi segala gerak-gerinya. Janganlah ia melakukan sesuatu perbuatan atau menuturkan sesuatu perkataan yang tidak diredhai oleh Allah Taala yang mengetahui segala-galanya. Demikian juga seseorang itu tidak harus bercakap besar dan bermegah megah dengan ilmu pengetahuan yang dikurniakan Allah kepadanya, tetapi wajiblah ia bersyukur kepada Allah dan memujinya, sambil berdoa semoga Allah Taala menambahkan lagi ilmu yang diberikan kepadanya.
Tiap-tiap seorang juga hendaklah sentiasa mengingati ketinggian martabat Allah Taala dan kebesaran kekuasaan-Nya, supaya merasa hebat dan gerun gementar, dan supaya Ia takut untuk mengadap Allah Taala dalam keadaan cuai menjalankan tanggungjawabnya. Oleh itu hendaklah ia memperbanyakkan ibadat dan amal kebajikan dan menjauhkan diri daripada melakukan khianat,  kezaliman dan segala perkara yang dilarang.
Betapa tidak? Sedang manusia walau setakat mana tinggi darjatnya dan kebesarannya, maka Ia tidak sekali-kali terlepas dari sifatnya sebagai hamba Allah Taala Yang Maha Tinggi dan Maha Besar. 
Di antara ayat-ayat suci yang mengenai keEsaan Allah pula ialah firman Allah Taala, ertinya:
"Katakanlah (wahai Muhammad): (Tuhanku yang aku serukan kamu menyembah-Nya itu) ialah Allah Yang Maha Esa; Allah yang menjadi tumpuan sekalian makhluk untuk memohon sebarang hajat; Ia tidak beranak dan Ia pula tidak diperanakkan; dan tidak ada sesuatu pun yang setara denganNya." (1-4 Surah al-lkhlas).
Surah "al-Ikhlas" ini yang juga dinamakan Surah "at-Tauhid" menetapkan dengan tegas tentang keEsaan Allah Taala yang sebenar-benarnya dan kekayaan-Nya yang sehabis-habis lengkap sempurna serta menafikan daripadaNya persamaan atau perbandingan dengan yang lain.
Dengan sabitnya keEsaan yang sebenar-benarnya bagi Allah Taala, maka nyatalah bahawa wujud Zat-Nya bersih suci daripada tersusun yang membawa kepada berjisim atau berpihak, dan bersih suci daripada berbilang yang membawa kepada persamaan pada hakikat wujud-Nya, dan yang membawa kepada dipersekutukan pada keistimewaan-keistimewaan hakikat Zat-Nya yang membuktikan sifat-sifat ketuhanan-Nya, seperti wajib bersifat wujud dan ilmu yang meliputi, juga kebijaksanaan yang sempurna serta kudrat yang menguasai seluruh makhluk-Nya.
Demikian juga, dengan sabitnya kekayaan Allah yang sehabis-habis lengkap sempurna,  terbuktilah bahawa Allah Taala jua Yang Maha Kaya secara mutlak,  yang menjadi tumpuan sekalian makhluk-Nya untuk memohon apa sahaja yang mereka perlukan, untuk kebaikan mereka di dunia dan di akhirat. Dengan sabitnya kedua-dua sifat itu - keEsaan dan kekayaan - bagi Allah Taala, maka ternafilah dan tidaklah ada sebarang celah bagi sesiapa pun untuk mengatakanNya beristeri atau beranak-pinak, atau menyamakan-Nya, atau membandingkan-Nya atau pun mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa jua pun.
Surah "al-Ikhlas" ini menetapkan dan menegaskan keEsaan wujudnya Allah Taala, keEsaan ketuhanan-Nya dan keEsaan kuasa memberi. Jelasnya Surah "al-Ikhlas" ini menegaskan; Bahawa tidak ada wujud yang hakiki, atau yang wujudnya memang hakikat Zat-Nya melainkan wujud Allah Taala; dan bahawa tidak ada yang memperkenan doa permohonan orang-orang yang memohon, dan tidak ada sebarang kekuatan,  tenaga atau kegiatan melainkan Allah jualah yang menjadi puncanya.
Kesimpulannya, Allah Taala Maha Esa pada ketuhanan-Nya, dan Allah Taala sahajalah yang menjadi tumpuan untuk memohon sebarang hajat; tiada sesuatu pun yang menyamai-Nya dan tidak pula Ia menyamai sesuatu yang lain.
Dalam pada itu, Allah Azza wa Jalla amat dekat (pengetahuan-Nya) kepada tiap-tiap makhluk,  dan tiap-tiap makhluk yang wujud itu adalah mendapat wujudnya dan seluruh keadaannya daripada wujud Allah Taala Yang Maha Esa lagi Maha Kaya. 
Surah "al-Ikhlas" ini juga sebagaimana ia menetapkan dan menegaskan hakikat yang demikian, ja juga menyedarkan hati nurani manusia tentang akidah Tauhid yang sebersih-bersihnya dari sebarang syirik,  supaya manusia menjadikannya asas bagi amal ibadatnya dan tingkah lakunya di sepanjang hidupnya; maka dengan itu manusia tidak akan menyembah melainkan Allah Azza wa Jalla dan tidak akan menunjukan permohonannya dalam masa senang dan susahnya melainkan kepada Allah Taala.
Dan di antara ayat-ayat yang menjelaskan sifat-sifat kesempurnaan Tuhan ialah akhir ayat 164 Surah an-Nisa' yang menyatakan bahawa: Allah telah berkata-kata kepada Nabi Musa a.s., kata-kata yang ia sendiri memperdengarkannya.
Dan lagi akhir ayat 11 Surah asy-Syura yang menerangkan bahawa tidak ada sesuatu pun yang menyerupai atau yang menyamai Allah s.w.t. baik pada Zat-Nya Yang Maha Suci mahu pun pada sifat-sifat-Nya Yang Amat sempurna,  juga pada kegiatan sifat-sifat itu; dan bahawa Allah Azza wa Jalla Amat Mendengar lagi Amat Melihat.
Maka dengan maksud dua potongan ayat yang tersebut wajiblah di i'tiqadkan bahawa Allah Taala bersifat dengan keadaan-Nya:
(1) Berkata-kata - Menyuruh, melarang,  menjanjikan pahala dan seksa serta menceritakan kisah-kisah pengajaran. 
(2) Mendengar - Tidak tersembunyi kepada pendengaranNya sesuatu walau seberapa sulit pun.
(3) Melihat - Tidak terlindung kepada penglihatan-Nya sebarang perkara sekalipun halus dan tertutup.
(4) Menyalahi segala rupa bentuk,  segala corak warna dan segala cara dan gaya didapati oleh pancaindera atau yang difikirkan oleh akal, juga berkeadaan tidak diliputi oleh masa atau tempat: وَتَعَالَى عَمَّا يَصِفُونَ

Trust NO ONE

Bila berlaku baik kita di permainkan
Kepercayaan dan keikhlasan kita di campak ke tempat hina
Bila usaha kita melindungi di jadikan batu loncatan dan tempat pijaknya
Bila kita korbankan diri demi kebaikannya dia kianatinya
Bila kita menjaga aibnya . aib kita pula dibuka
Bila rahsia diberi. di bocorkannya
Bila menjulangnya dia menghina kita
Bila kita menyayanginya dia berpura dan mengambil kesempatan
Bila berusaha untuknya dia bergoyang kaki dan menghina pula
Bila kita beri amanah diterima dan di belakang menghina
Bila manusia xkenal ilmu ikhlas, tak reti menghargai , menilai dan memahami dengan hati.

Moga Allah jauhi aku dari org-org yang hipokrit dan bermuka muka

Sent from: Lenovo

Kuliah Zohor

Semoga Ramadhan kita dipenuhi dengan amal ibadah


Sent from: Lenovo S991i

Artikel 9 - WAJIB BERSIKAP IKHLAS DALAM MENUNTUT ILMU DAN AMAL IBADAT

WAJIB BERSIKAP IKHLAS DALAM MENUNTUT ILMU DAN AMAL IBADAT

Firman Allah Taala, maksudnya: " .. Sesiapa yang percaya dan berharap akan pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang salih dan janganlah ia mempersekutukan sesiapa pun dalam ibadatnya kepada Tuhannya." (110, Surah Al-Kahf)
" .. hendaklah engkau menyembah Allah dengan mengikhlaskan kepada-Nya segala ibadat dan bawaan mu." (2, Surah Al-Zumar).
Hadis Ketiga Puluh Tiga
 
33- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. (أبو داود وابن ماجه)
33- Dari Abu Hurairah, r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesiapa yang mempelajari sesuatu ilmu dari jenis-jenis ilmu yang tujuannya untuk mencapai keredhaan Allah,  sedang ia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapat sesuatu bahagian dari dunia (harta benda atau pengaruh), nescaya ia tidak akan dapat mencium bau syurga,  pada hari qiamat kelak."
( Abu Daud dan Ibnu Majah)
Hadis yang ketiga puluh tiga ini menerangkan: 
Orang yang mempelajari ilmu agama dengan tujuan mendapat habuan dunia, buruk padahnya.
Huraiannya:
Tiap-tiap perbuatan adalah dinilai menurut tujuan orang yang melakukannya. Sesuatu perkara yang dilakukan oleh dua orang dengan tujuan yang berlainan, maka berlainan pula nilainya, kerana tujuanlah yang mendorong seseorang melakukan sesuatu perbuatan itu.
Ilmu agama - sebagaimana yang sedia diketahui - adalah dan Allah,  untuk menjalankan perintah-perintah Allah dan beramal kerana Allah.
Oleh itu, seseorang penuntut ilmu agama hendaklah membersihkan hatinya supaya ilmu dan amal yang diusahakannya sungguh-sungguh kerana Allah, bukan kerana kepentingan dunia.
Dalam hadis ini, Rasulullah s.a.w. menegaskan: Bahawa orang yang menuntut ilmu agama untuk mendapat habuan dunia semata-mata, maka ia bukan sahaja tidak memasuki syurga bahkan tidak dapat mencium baunya, kerana orang yang demikian telah menyelewengkan agama Allah dan telah
menjualnya dengan habuan-habuan dunia.  Oleh itu sudah selayaknya ia menerima balasan yang seburuk-buruknya.
Dalam pada itu, janji balas buruk yang tersebut dalam hadis ini, tidak ditimpakan kepada orang yang menuntut ilmu agama dengan ikhlas,  kemudian ia beroleh habuan dunia sebagai nikmat pemberian yang disegerakan Tuhan kepadanya, maka orang yang demikian tidak dikeji oleh syarak, 
kerana ia tidak menyelewengkan agama Allah dan tujuannya yang sebenar.
Mengenai hal ini, Imam Ghazali dan alim ulamak yang lain telah membahagikan penuntut-penuntut ilmu kepada tiga bahagian: 
Pertama - Orang yang menuntut ilmu kerana Allah dan untuk keselamatannya pada hari akhirat, maka ia adalah dari orang-orang yang berjaya! 
Kedua - Orang yang menuntut ilmu untuk mendapat kemuliaan,  kebesaran dan harta kekayaan,  dalam pada itu ia menyedari akan tujuannya yang buruk itu. Orang yang demikian, jika ia bertaubat dan menyelamatkan dirinya dan perbuatannya yang salah itu maka ia akan termasuklah dalam golongan orang-orang yang berjaya,  kerana orang yang bertaubat dari dosanya akan menjadilah ia sama seperti orang yang tidak berdosa;  dan jika ia mati sebelum bertaubat,  adalah ditakuti ia akan mati dalam keadaan Su' al-Khatimah", semoga Allah melindungi kita daripada keadaan yang demikian dan dari segala yang membawa kepada "kesudahan yang buruk" itu.
Ketiga - Orang yang menuntut ilmu dengan tujuan mendapat harta kekayaan dan pangkat kebesaran, dengan menyangka bahawa ia mempunyai kedudukan yang mulia di sisi Allah, kerana ia berlagak seperti alim ulama pada pakaian dan tutur katanya; maka orang yang demikian adalah dari golongan yang binasa, kerana ia dihalangi dari bertaubat oleh sangkaannya bahawa ia berada di atas jalan yang benar. 
Pendeknya orang yang menuntut ilmu dikehendaki menentukan niat dan tujuannya pada tiap-tiap masalah secara khusus satu persatu, atau secara umum - bahawa ia mempelajari ilmu itu ialah untuk menunaikan fardu ain" yang ditanggungnya untuk kewajipan dirinya sendiri, dan yang lebih dan itu hendaklah diniatkan untuk disampaikan kepada orang ramai sebagai "fardu kifayah"; dan janganlah diniatkan sebagai perkara "sunat" kerana pahala "perkara yang difardukan" adalah lebih besar dari itu.
Demikian juga hendaklah ia menentukan niat dan tujuannya dengan ilmu yang diajarkannya itu akan dapat mencapai jalan yang menyampaikan faedahnya kepada segala lapisan masyarakat, dengan perantaraan murid-muridnya dan murid-murid kepada murid-muridnya, meliputi ilmu dan amal yang terus menerus hingga hari qiamat.
Demikian juga hendaklah ia menentukan niat dan tujuannya untuk menyekat dirinya dari melakukan maksiat dengan berlaku taat kepada Allah dan juga menyekat dirinya dari perkara-perkara yang sia-sia dan merugikan.
Menurut Imam Al-Qarafi, bahawa sesiapa yang mengajarkan ilmu kepada orang ramai dengan tujuan hendak menjadi orang yang masyhur dan terpuji,  maka perbuatannya yang demikian menjadi sebab untuk ia dipulaukan dan tidak diambil ilmu yang disampaikannya.
Hadis Ketiga Puluh Empat
 
34- عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ. (الترمذي وابن ماجه)
34 - Dari Ka'ab bin Malik ra., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesiapa yang menuntut ilmu, dengan tujuan bermegah-megah menandingi alim ulama dengan ilmunya itu, atau dengan tujuan bertengkar dan bertegang urat dengan orang-orang yang jahil dengan ilmunya itu, atau pun dengan tujuan menarik dengan ilmunya itu perhatian orang ramai memujinya, nescaya Allah akan memasukkannya ke dalam neraka. "
(Tirmizi dan Ibnu Majah)
Hadis yang ketiga puluh empat ini mengingatkan:
Penuntut-penuntut ilmu supaya jangan bertujuan selain dari mentaati Allah serta mendapat keredhaan-Nya.
Huraiannya:
Dalam hadis ini, Rasulullah s.a.w. menyatakan bahawa tiga perkara yang tidak sepatutnya dijadikan tujuan bagi menuntut ilmu agama: 
1 - Bermegah-megah menandingi alim ulama.
2 - Bertengkar dengan orang-orang jahil. 
3 - Mendapat pujian orang ramai.
Sesiapa yang menjadikan salah satu dan tiga perkara yang tersebut sebagai tujuannya dalam mempelajari ilmu agama,  maka amatlah buruk balasannya, kerana sikap dan tujuannya yang demikian bukan sahaja merosakkan dirinya sendiri bahkan juga membawa kerosakan kepada agama Allah yang dibawa oleh RasulNya.
Kejadian yang demikian dapat disaksikan di mana-mana; ada di antara orang-orang yang mempelajari ilmu agama tetapi perbuatannya memburukkan Islam. Ada pula yang tidak beramal menurut ilmu dan ajaran Islam yang dipelajarinya, kerana amal bakti itu bukan menjadi tujuannya; pada hal tujuan yang tunggal bagi menuntut ilmu agama itu ialah untuk mencapai keredhaan Allah Taala dengan mengerjakan suruhanNya dan meninggalkan laranganNya.
Hadis Ketiga Puluh Lima
 
35- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ. (مسلم والترمذي والنسائي)
35 - Dari Abu Hurairah, r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesungguhnya di antara manusia yang mula-mula dibicarakan dan dihukum pada hari qiamat ialah: Pertama, orang yang gugur syahid - ia dibawa mengadap, maka Allah menyatakan kepadanya satu persatu nikmat-nikmatNya (yang telah diberikan kepadanya semasa hidupnya) lalu ia mengakui menerimanya; Allah Taala bertanya kepadanya: "(Sesudah itu) maka apa engkau telah lakukan pada nikmat-nikmat itu?" Ia menjawab:  "Aku berperang kerana mematuhi perintahMu sehingga aku gugur syahid"; Allah Taala berfirman: "Engkau berdusta! (bukan itu tujuan mu), akan tetapi engkau berperang supaya orang mengatakan: Engkau berani dan telahpun dikatakan yang demikian". Kemudian ia dihukum lalu diseret dengan tertiarap, sehingga ia dihumbankan ke dalam neraka.  Dan kedua, orang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur'an - ia dibawa mengadap, maka Allah menyatakan kepadanya nikmat-nikmatNya satu persatu, lalu ia mengakui menerimanya; Allah Taala bertanya kepadanya: "(Sesudah itu) maka apa engkau telah lakukan pada nikmat-nikmat itu?" Ia menjawab:  Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur'an kerana mengharapkan keredhananmu"; Allah Taala berfirman: "Engkau berdusta! (Bukan itu tujuanmu), akan tetapi engkau mempelajari ilmu supaya orang mengatakan engkau alim dan engkau membaca Al-Qur'an supaya orang mengatakan: Si anu seorang qari, maka telahpun dikatakan yang demikian". Kemudian ia dihukum lalu diseret dengan tertiarap, sehingga ia dihumbankan ke dalam neraka.  Dan ketiga, orang yang telah dimewahkan Allah hidupnya serta diberinya sebahagian dari segala jenis harta benda kekayaan - ia dibawa mengadap, maka Allah menyatakan kepadanya nikmat nikmatNya satu persatu, lalu ia mengakui menerimanya; Allah Taala bertanya kepadanya: "(Sesudah itu) maka apa engkau telah lakukan pada nikmat-nikmat itu?" Ia menjawab: "Aku tidak tinggalkan satu jalan pun di antara jalan-jalan yang engkau suka dibelanjakan kekayaan itu padanya melainkan aku belanjakan padanya, kerana mengharapkan rahmatMu"; Allah Taala berfirman: "Engkau berdusta! (Bukan itu tujuanmu), akan tetapi engkau belanjakan harta kekayaanmu supaya orang mengatakan: Si anu itu seorang dermawan,  - maka telah pun dikatakan yang demikian". Kemudian ia dihukum lalu diseret dengan tertiarap; akhirnya ia dihumbankan ke dalam neraka."
(Muslim, Tirmizi dan An-Nasa'i).
Hadis yang ketiga puluh lima ini menerangkan: 
Akibat buruk yang ditimpakan kepada orang-orang yang menyalahgunakan nikmat-nikmat pemberian Allah kepadanya.
Huraiannya:
Nikmat-nikmat Allah yang dikurniakannya kepada umat manusia amatlah banyak,  tidak terhitung. Nikmat-nikmat pemberian itu meliputi tiga bahagian besar dalam alam kehidupan ini - jasmani, rohani dan kebendaan. 
Dalam hadis ini, Rasulullah s.a.w. menerangkan perihal tiga jenis manusia,  masing-masing mendapat salah satu dari jenis-jenis nikmat yang tersebut, iaitu nikmat jasmani seperti kesihatan dan kekuatan tubuh badan; nikmat rohani seperti ilmu pengetahuan dan amal ibadat;  dan nikmat kebendaan seperti wang ringgit dan hasil mahsul.
Setelah disoal dan dibicarakan pada hari qiamat, mereka didapati bukan sahaja tidak bersyukur akan nikmat-nikmat pemberian Allah itu bahkan mereka telah menyalahgunakannya dengan tujuan mendapat nama dan dipuji orang semata-mata. Oleh yang demikian berhaklah mereka ditimpa azab seksa yang diterangkan itu.
Hadis Ketiga Puluh Enam
 
36- عَنْ أَبِي سَعْدِ بْنِ أَبِي فَضَالَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا جَمَعَ اللَّهُ النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِيَوْمٍ لَا رَيْبَ فِيهِ نَادَى مُنَادٍ مَنْ كَانَ أَشْرَكَ فِي عَمَلٍ عَمِلَهُ لِلَّهِ أَحَدًا فَلْيَطْلُبْ ثَوَابَهُ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ. (الترمذي)
36- Dari Abu Sa'id bin Abi Fadhalah ra., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Apabila Allah Taala menghimpunkan manusia pada hari qiamat pada hari yang tidak ada sebarang syak tentang tetap berlakunya, - (pada hari itu) menyerulah malaikat penyeru:  "Sesiapa mempersekutukan (Allah dengan) mana-mana makhluk dalam sebarang amal yang dikerjakannya kerana Allah,  maka hendaklah ia meminta pahalanya daripada yang lain dan Allah,  kerana sesungguhnya Allah Taala tidak menerima sama sekali akan sebarang amal yang dipersekutukan Dia dengan makhluk yang lain."
(Tirmizi)
Hadis yang ketiga puluh enam ini menerangkan tentang:
(1) Peristiwa berhimpun di padang Mahsyar.
(2) Keputusan perbicaraan masing-masing akan dihebahkan dalam perhimpunan itu.
Huraiannya:
Di antara peristiwa-peristiwa yang akan ditempuh oleh setiap orang pada hari qiamat kelak ialah peristiwa berhimpun di padang Mahsyar. Susah senang atau berat ringannya kesusahan yang akan dirasai di situ adalah bergantung kepada amal masing-masing.
Setelah puas menunggu, masing-masing pun dibicarakan, dihisab dan ditimbang amalnya, kemudian diisytiharkan keputusan perbicaraan itu.
Dalam hadis ini, Rasulullah s.a.w., menerangkan:  Bahawa pada saat itu malaikat akan menghebahkan kepada umum:  Sesiapa yang melakukan syirik - mempersekutukan mana-mana makhluk dengan Allah dalam amalnya, hendaklah ia meminta balasannya kepada makhluk itu, kerana Allah Taala tidak menerima sama sekali akan sebarang amalan syirik. 
Pada ketika itu orang-orang yang bersalah akan menyesal,  tetapi sesal kemudian tidak ada gunanya. Maka wajiblah dibersihkan segala amalan dari tujuan yang lain daripada mengharapkan keredhaan Allah.
Hadis Ketiga Puluh Tujuh
 
37- عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَرَأَيْتَ رَجُلًا غَزَا يَلْتَمِسُ الْأَجْرَ وَالذِّكْرَ مَالَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا شَيْءَ لَهُ فَأَعَادَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ يَقُولُ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا شَيْءَ لَهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ. (أبو داود والنسائي)
37- Dari Abu Umamah r.a., katanya: "Seorang lelaki telah datang mengadap Rasulullah s.a.w., lalu bertanya: "Ya Rasulullah!  Bagaimana hukum seseorang yang pergi berperang untuk mencari pahala dan nama yang terpuji,  apa yang akan didapatinya?" Maka Rasulullah s.a.w. (menyatakan kepadanya dengan) bersabda: "Orang itu tidak beroleh sebarang pahala"; Si penanya mengulangi pertanyaannya tiga kali dan Rasulullah s.a.w. pula tetap menjawab: "Orang itu tidak beroleh sebarang pahala"; akhirnya Baginda bersabda: "Sesungguhnya Allah `Azza wa Jalla tidak menerima sebarang amal melainkan yang dikerjakan untukNya semata-mata dan dengan tujuan untuk mendapat keredhaanNya."
( Abu Daud dan An-Nasa'i)
Hadis yang ketiga puluh tujuh ini menerangkan bahawa:
Sebarang amal yang dikerjakan bukan kerana Allah,  tidak ada nilainya di sisi Allah.
Huraiannya:
Sesuatu amal yang dikerjakan, walau seberapa besar dan tinggi nilainya pada anggapan manusia,  belum tentu ada nilainya di sisi Allah untuk mendapat balasan pahala pada hari akhirat kelak.
Dalam hadis ini, Rasulullah s.a.w. menyatakan hukum perkara itu kepada orang yang bertanya mengenai seseorang yang berjuang di medan perang dengan tujuan untuk mendapat pahala dan nama yang terpuji sebagai pahlawan yang gagah berani;  Baginda menyatakan bahawa orang itu tidak beroleh sebarang pahala.  Baginda menegaskan jawapannya itu sebanyak tiga kali, sambil menerangkan sebabnya amal itu yang pada zahirnya dipandang tinggi nilainya tetapi pada hakikatnya tidak mendapat sebarang pahala kerana ia dikerjakan bukan kerana Allah semata-mata, sedang Allah Subhanahu wa Taala tidak menerima melainkan amal bakti yang dikerjakan dengan ikhlas kepadaNya.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...